PROOLINGGO - Lembaga pondok pesantren merupakan candradimuka, yaitu lembaga yang memiliki fungsi pendidikan, dakwah dan sosial. Salah satu karakter pesantren adalah menanamkan nilai-nilai moral bagi para santri-santrinya. Yang demikian ini, tidak banyak didapatkan pada lembaga di luar pesantren. Nafas-nafas islami terinternalisasi pada setiap aktifitas-aktifitas pesantren. Realitas demikian ini tidak lepas dari kepribadian pendirinya. Sebab, keberadaan pesantren tidak lepas dari karakter dan keilmuan para penggagas dan pendiri pesantren tersebut. Sebagai orang alim, para pendiri dan penggagas pondok pesantren tentu akan menjadikan nilai-nilai moralitas sebagai nafas gerak dan ruang masyarakat pesantren. Karena keberadaan pesantren disamping bertugas untuk menciptakan kader-kader potensial dalam mengarungi kehidupan dengan semangat teologis yang mengakar. Meskipun harapan bangsa terhadap pesantren sangatlah besar, namun dalam menciptakan manusia harus berlandaskan pada semangat kader yang memiliki integritas, yaitu insan pencipta dan pengabdi yang memiliki jiwa islami. Buah dari ilmu itu teraplikasi pada perbuatan Kiai Zaini, dengan sebuah cerita suatu ketika kiai pulang dari kegiatan di luar kota, kemudian berhenti di pinggir jalan untuk berteduh di bawah pohon. Sesampai di dalem, Kiai Zaini minta sopir untuk pergi kembali ke arah tempat tadi dikunjungi, tepatnya saat berteduh di bawah pohon. Si sopir kaget begitu mendengar cerita dari kiai bahwa beliau mengelembalikan seekor semut yang terikut dalam mobilnya. "Semut ini mungkin sedang ditunggu oleh anak-anaknya, " dawuh kiai Zaini.
Salah satu tokoh visioner KH. Zaini Abd Mun’im pendidiri dan pengasuh pertama pondok pesantren Nurul Jadid Paiton, Probobolinggo mempunyai gagasan cemerlang untuk mencetak kader masyarakat dan bangsa yang ideal. Gagasan itu tertuang dalam prinpisip atau bisa pula di sebut sebagai filosofi pesantren Nurul Jadid. Prinsip itu sebagai acuan dan pedoman pesantren Nurul Jadid di dalam mewujudkan visi-misinya, yaitu trilogi dan panca kesadaran santri.
Baca juga:
Menanggapi Paradigma Polemik Perubahan Laut
|
Tidak ada penjelasan yang tertulis dari Kiai Zaini berkait apa yang di maksud dengan trilogi. Dalam kamus KBBI trilogi itu adalah kesatuan gagasan atau pokok pikiran yang dituangkan dalam tiga bagian yang saling terhubung. Penjabaran trilogi itu sebagai berikut; pertama; memperhatikan ilmu yang bersifat fardhu ain, kedua; mawas diri untuk meninggalkan dosa-dosa besar, dan ketiga; memiliki budi pekerti kepada Allah dan makhlukNya. Tiga hal tersebut saling berhubungan satu dengan yaang lain. Kiai Zaini menekankan bahwa setiap muslim harus lebih mendahulukan kewajiban yang bersifat fardhu ain (individu) daripada kewajiban yang bersifat fardhu kifayah (komunitas). Dalam kitab Muroqil Ubudiyah syarah dari kitab Bidayatul Hidayah karya Hujjatul Islam Imam Ghazali disebutkan, Allah lebih menyukai hambanya yang melaksanakan ibadah yang difardhukan lebih diutamakan daripada ibadah-ibadah yang disunnahkan. Fardhu ain itu tidak terbatas pada shalat, puasa, zakat dan haji, namun pada semua kewajiban-kewajiban yang melekat pada pribadi orang beriman, seperti mempelajari ilmu yang dapat menjaga diri dari perbuatan dosa besar (syirik, zina, mabuk, dan lainnya). Kedua hal di atas untuk mendatangkan adab seorang mukmin kepada Allah dan pada sesamanya. Perilaku penghambaan itu sebagai wujud beradab kepada Allah, dan menghindari dosa-dosa besar sebagai wujud pengaplikasian adab pada sesama hamba.
Setelah itu adalah panca kesadaran santri, yang terjabarkan pada lima unsur, yaitu; kesadaran beragama, kesadaran berilmu, kesadaran berorganisasi, kesadaran bermasyarakat, dan kesadaran berbangsa dan bernegara. Yang menarik istilah yang di pakai oleh Kiai Zaini adalah kesadaran. Kesadaran akan perbuatan. Sadar artinya merasa, tau atau ingat (kepada keadaan yang sebenarnya), keadaan ingat akan dirinya, ingat kembali ingat, tau dan mengerti. Sebagai seorang mukmin yang memiliki cara pandang tidak lepas dari kesadaran beragama, ia selalu mengingat bahwa aktifitas dalam kehidupannya tidak lepas dari kontrol Tuhan. Lima kesadaran itu mengantarkan seorang muslim menjadi seorang hamba yang menjalankan penuh pengabdiannya pada kepada Allah dan mentransformasikan nilai-nilai iman untuk kepentingan umat manusia.