OPINI - Istilah “Buaya darat” yang ditujukan kepada laki-laki hidung belang pasti sudah tidak asing lagi di telinga pembaca. Meskipun istilah ini cukup populer, namun masih banyak orang yang mungkin belum “ngeh” mengetahui asal usul sebutan buaya darat. Lantas sebenarnya, dari mana istilah buaya darat ini muncul?
*Buaya Darat*
Baca juga:
Jangan Sampai Modern Menjadi Mudirrun
|
Seperti yang kita ketahui bersama, istilah buaya darat sering digunakan untuk menggambarkan seorang pria yang tidak setia, suka menggoda lawan jenis tanpa niat serius atau pria yang sering berpindah-pindah pasangan dalam hubungan percintaan. Para puitis menyebutnya, orang yang singgah, namun tak sungguh.
Banyak sekali artikel ataupun mitos yang telah menilik asal usul sebutan buaya darat. Ada yang beranggapan bahwa buaya merupakan hewan amfibi yang bisa hidup di air dan darat. Jika sedang berada di dalam air, buaya merupakan hewan yang setia pada pasangannya, namun ketika di darat buaya dapat memangsa betina lain yang bukan pasangannya. Benarkah begitu?
Baca juga:
Menanggapi Paradigma Polemik Perubahan Laut
|
Asal sebutan itu juga diulas oleh Samsudin Alawi dalam Majalah Tempo yang berjudul “Binatang yang Memperkaya Bahasa”. Dalam artikel tersebut, diceritakan sejarah istilah buaya darat muncul sejak tahun 1971 dan berawal dari kisah di desa bernama Soronganyit daerah Jember, Jawa Timur.
Di desa tersebut terdapat sebuah tambak buaya. Kawanan buaya di tambak tersebut memiliki jadwal aktivitas yang ketat, contohnya kapan harus di darat dan kapan harus berada di air. Namun pada suatu hari, ada seekor buaya jantan yang diketahui menghilang.
Sontak, warga pun dibuat gempar karena takut dimangsa oleh buaya jantan yang kabur itu. Setelah tiga bulan berlalu, buaya jantan itu ditemukan sedang bersama buaya betina. Tentu saja, buaya betina itu bukan pasangan sahnya. Bahkan sang betina baru seumur anak si buaya jantan.
Melihat hal itu, warga pun serempak mengumpat “Dasar buaya!”. Sejak saat itulah, ketika ada laki-laki yang punya hubungan gelap dengan wanita lain yang bukan pasangan sahnya, secara spontan akan dijuluki “lelaki buaya darat”.
Ahmad Zainul Khofi Kader Ponpes Nurul Jadid
*Buaya Darat dari Persepektif Teori Evolusi Otak Manusia*
Dalam tulisan ini, penulis menautkan asal usul sebutan buaya darat dari variable atau teropong yang berbeda dari kebanyakan artikel dengan penjelasan yang lebih logis, yaitu teori evolusi otak manusia.
Otak manusia yang besar memberikan banyak keunggulan karena dengannya kita bisa membuat mobil dan senjata yang memungkinkan kita bergerak jauh lebih cepat dari pada hewan lain. Namun, sangat disayangkan jika otak yang kita miliki ini tidak dimanfaatkan dengan betul, oleh karena itu tak jarang ada perilaku manusia yang mirip dengan hewan, hidupnya hanya untuk berkembang biak, makan, dan berebut kuasa.
Dalam proses berpikir dan menghasilkan tindakan, manusia memiliki beberapa lapis otak yang mestinya harus dipakai dengan kadar penggunaan yang pas, kalau lebih berat sebelah maka tindakan manusia bisa jadi tak jauh dari tindakan hewan.
Lapisan otak manusia berdasarkan fungsinya secara garis besar dikelompokkan menjadi empat bagian. Paling bawah, brainstem atau otak reptil. Dikenal sebagai otak reptil karena otak ini mirip dengan otak reptil seperti pada buaya yang hanya memiliki brainstem saja, ehem.. pembahasan mulai masuk. fungsi otak ini cenderung bermain dengan insting, naluri untuk bertahan hidup. Ia ganas, yang penting kebutuhannya terpenuhi, makanya ga salah kalau ada sebutan cowok buaya. Contohnya lagi, orang yang berprinsip “senggol, bacok”.
Lapisan selanjutnya, the cerebellum atau otak “kecil”, letaknya di bagian belakang bawah dalam struktur otak manusia. Fungsinya, untuk mengendalikan keseimbangan dan koordinasi tubuh.
Kemudian, limbic system atau otak mamalia, fungsi otak ini sebagai pengendali emosi. Membantu mempertahankan keseimbangan hormonal, rasa haus dan lapar, dorongan seksual, pusat kesenangan dan metabolisme. Otak ini untuk melakukan sesuatu selalu melibatkan emosi yang mendalam. Bagian ini juga perlu diperhatikan, jika tingkatnya tinggi jauh dari otak lain dan sama dengan otak brainstem, maka merupakan kolaborasi yang pas untuk menjadi sosok cowok buaya darat.
Adalagi, otak cerebrum/cortex atau sang pemikir, merupakan otak paling modern dari ketiga otak sebelumnya, diperkirakan berevolusi kurang dari 200 juta tahun. Fungsinya, sebagai otak rasional yang mampu berfikir, berimajinasi, dan melakukan perencanaan.
*Berdamai dengan Otak, Hindari Status Buaya Darat*
Saya menyadari, bahwa di dalam otak terjadi pertempuran, kemudian kita harus memahami bagaimana cara untuk mengontrolnya.
Kebutuhan hidup di dunia modern berbeda dengan kondisi dunia primitif. Tidak perlu lagi berkelahi secara fisik untuk bisa hidup, tetapi lebih membutuhkan kemampuan intelektual dan sosial untuk survive dan exist. Disini kemampuan melakukan refleksi, analisis dan pertimbangan secara sadar menjadi senjata penting bagi kita.
Tingkat kematangan individu dalam menyelesaikan permasalahan, sangat dipengaruhi oleh dua bagian otak, yaitu amygdala yang terdapat pada limbic system dan prefrontal cortex yang berada pada celebrum. Amygdala ini ada untuk melindungi kita dari ancaman, ia mengendalikan respon apakah kita harus lari atau berkelahi. Kemudian prefontal cortex, tidak seperti amygdala yang bekerja cepat emosional, dan otomatis, prefrontal cortex bekerja secara bertahap, rasional, sebab akibat, dan sadar.
Hal yang harus kita sadari adalah bagaimana mengendalikan respon amygdala, karena kalau kita mengikuti amygdala untuk bereaksi secara spontan, kita akan cenderung reaktif, emosional, tidak berani bertindak, dan mengambil keputusan yang salah. Ya, salah satunya keputusan menjadi sosok buaya darat.
Jadi, penting sekali untuk memahami kondisi saat reaksi tindakan kita merupakan hasil pembajakan amygdala terhadap prefrontal cortex. Dengan memahami peringatan dan perintah amygdala ini, pikiran sadar kita bisa memberikan penolakan, sehingga naluri buaya darat tak lagi menguasai sikap kita, hehe.
“The way to re-train amygdala is by producing positif memories of yourself dealing with your triggers.”
Probolinggo, 22 Juli 2023
Penulis: Ahmad Zainul Khofi Kader Ponpes Nurul Jadid